Para pemain besar di ranah media sosial mungkin merasa lega dengan berakhirnya 2018. Berbagai isu tentang privasi dan integritas data melanda Facebook, dan berefek pada keterlibatan pemerintah.
Jejaring sosial yang tengah disorot oleh pemerintah harus mengevaluasi ulang sejauh apa pengaruh yang dimilikinya serta potensi penyalahgunaan layanannya. Para pengguna mulai mempertanyakan dampak lebih besar dari kehadiran media sosial terhadap politik, budaya, dan pergolakan di masyarakat.
Apa artinya ini untuk 2019? Bagaimana tanggapan pengguna dan berbagai jaringan terhadap pergeseran ini? Bagaimana perusahaan menggunakan media sosial seiring dengan perubahan sikap terhadap privasi dan koneksi yang bermakna?
Dalam Social Trends Report, kami melakukan survei terhadap lebih dari 3.000 bisnis–dari agensi kecil hingga perusahaan besar–untuk melihat bagaimana mereka berencana beradaptasi pada tahun 2019. Berikut adalah beberapa temuan paling menonjol dan ramalan tentang apa yang mungkin terjadi pada tahun ini.
Kembalinya kenyataan
Gelombang skandal telah menghasilkan dampak tak terhindarkan pada kepercayaan orang-orang terhadap media sosial. Menurut Trust Barometer Report 2018 yang dipublikasikan Edelman, enam puluh persen peserta survei tidak lagi memercayai perusahaan penyelenggara media sosial.
Karena banyak terdapat berita bohong dan manipulasi data, para pengguna makin tidak percaya pada influencer, termasuk para selebritas dan tokoh media. Dalam titik balik besar-besaran ini, kepercayaan kembali mengarah pada teman, keluarga, dan orang terdekat pada media sosial–kredibilitas individu berbicara lebih banyak daripada jumlah pengikut mereka.
Bagi bisnis, kondisi ini menghadirkan tantangan sulit pada tahun 2019. Menggunakan media sosial sebagai saluran iklan lainnya–diisi dengan clickbait dan kode promo menarik–terasa semakin tidak sesuai dengan norma sosial dan preferensi pengguna.
“Sebaliknya, perusahaan progresif akan mengurangi fokus pada upaya ekspansi dan lebih memusatkan perhatian untuk meningkatkan transparansi dan keterlibatan yang bermakna.”
Sebesar lima puluh persen responden survei kamu sepakat bahwa melakukan personalisasi konten sosial akan menjadi tantangan utama.
Merek seperti Adidas dan The New York Times mencontohkan etos ini. Mereka menciptakan komunitas dan membagikan konten-konten yang relevan, serta memungkinkan pengguna yang antusias untuk terhubung satu sama lain.
Konten yang tak abadi
Pergeseran ke cara-cara yang lebih pribadi untuk terlibat di media sosial ikut memengaruhi jenis konten yang dibagikan. Alih-alih memasang di News Feed, para pengguna makin sering berbagi konten tipe Stories dalam jaringan mereka.
Berbeda dengan standar pembaruan biasanya, tayangan slide singkat ini umumnya menghilang setelah hari berganti. Konten Stories mengalami pertumbuhan 15 kali lebih cepat daripada pembagian konten di Feed.
Ada lebih dari satu miliar pengguna Stories di Instagram, Facebook, WhatsApp, dan Snapchat. Chief Product Officer Facebook Chris Cox menyebutkan bahwa Stories mulai melampaui performa Feed sebagai cara utama orang berbagi hal dengan teman-teman mereka pada 2019.
“Perusahaan-perusahaan yang sedang mencari cara agar tetap relevan dengan media sosial mesti mempertimbangkan untuk terlibat lebih jauh dengan fitur Stories.”
Dua pertiga responden survei kami telah menggunakan Instagram Stories atau merencanakan akan menggunakannya tahun ini. Ini berarti memikirkan kembali tentang pembaruan sosial yang tak hanya sebatas blok teks statis, melainkan konten multimedia yang bersifat intim, apa adanya, dan menunjukkan kejadian di balik layar.
Mengintegrasikan video, grafis sederhana, dan alur naratif adalah kunci, tapi jangan sampai kehilangan sifat autentik yang kamu punya. Pelopor seperti The Guardian menyebutkan konten Stories yang minim polesan dan lebih realistis punya tingkat engagement tinggi.
Yang jelas, Stories kini menjadi kebiasaan kedua, terutama bagi para pengguna milenial dan Gen Z. News Feed mulai kehilangan tahtanya.
Linkedin sukses dengan caranya sendiri
Meski skandal dan kontroversi telah mengguncang jaringan media sosial, satu platform diam-diam mencuat ke permukaan: LinkedIn. Jumlah pengguna jaringan sosial bisnis ini melewati angka 500 juta pada tahun 2018. Sebagai penyedia konten, LinkedIn kini memublikasikan lebih dari 100.000 artikel per minggu pada platfrom blog miliknya.
Dengan menambah fungsi grup, video original, dan API baru yang memungkinkan integrasi dengan aplikasi pihak ketiga, semuanya menunjukkan bahwa saat ini LinkedIn bukan hanya sekadar tempat untuk menyimpan resume profesional kamu.
Pada waktu ketika Feed lainnya dipenuhi dengan “kata-kata beracun” dan meme yang viral, daya tarik pendekatan profesional di LinkedIn menjadi semakin kuat dari sebelumnya–yang tercermin pada meningkatnya jumlah pengguna.
Perusahaan yang sukses di media sosial tahun ini akan mencari cara kreatif untuk memanfaatkan keunikan LinkedIn dalam jagat sosial–pada persimpangan antara “personal” dan “profesional.”
Pilihan alami bagi pemasaran B2B, LinkedIn juga menjadi saluran yang tepat untuk menjangkau konsumen berpenghasilan tinggi. Dari setengah miliar anggotanya, 44 persen dari mereka berpenghasilan lebih dari US$75.000 (sekitar Rp1 miliar) dan lebih dari setengahnya mempunyai gelar sarjana.
Sementara itu, dalam pasar tenaga kerja yang ketat di mana perekrutan merupakan tantangan eksistensi bagi banyak bisnis, LinkedIn juga menawarkan platform ideal untuk perusahaan yang ingin menampilkan merek mereka (budaya dan reputasi perusahaan sebagai tempat kerja).
Fitur Grup makin diminati
Fitur grup Facebook bukanlah suatu inovasi baru. Ruang bagi orang-orang berkumpul dan berdiskusi tentang suatu subjek yang spesifik–mulai dari hewan peliharaan dan hobi hingga selebritas–telah ada sejak awal kehadiran platform ini. Tapi perhatian lebih para pengguna pada aspek privasi dan keintiman di antara anggota membuat fitur Grup jadi makin diminati.
Keanggotaan Facebook Group pada tahun lalu mencapai 40 persen, dengan 1,4 miliar pengguna setiap bulan. Memang, jauh sebelum kasus Cambridge Analytica mencapai puncaknya, Facebook telah melakukan kalibrasi ulang algoritmenya untuk memprioritaskan keterlibatan dengan teman, keluarga, dan Grup, sembari menurunkan kemunculan konten publik yang dibagikan oleh perusahaan, pengelola merek, dan media.
Pada tahun 2019, sukses di media sosial berarti menemukan cara untuk memanfaatkan minat yang kembali bangkit terkait Grup dan keinginan pengguna berdiskusi dengan aman, kebalikan dari platform media sosial yang sulit diatur. Eksklusivitas dapat membantu di sini. Merek seperti Conde Nast berhasil mencapai kesuksesan dengan benar-benar fokus pada “Grup Tertutup”, di mana para pengguna harus meminta persetujuan admin sebelum melihat atau memasang konten.
“Memperluas Grup tanpa kehilangan keintiman bukan tanpa tantangan: aktif dalam melakukan moderasi dan menahan diri untuk tidak berlebihan dalam “menjual” produk atau layanan adalah kunci.”
Para perusahaan yang mengikuti pergeseran selera pengguna dan algoritme jaringan bakal meraup keuntungan besar tahun ini.
Iklan media sosial yang membanjir
Iklan membanjiri kita dalam berbagai bentuk. Cerita bersponsor, konten yang dipromosikan, saran akun untuk diikuti, dan lainnya, sekarang menjadi konten yang selalu ada di media sosial.
Memang, Facebook sendiri meraup hampir seperempat dari semua biaya iklan digital di Amerika Serikat. Lebih dari tiga perempat responden survei kami telah berinvestasi dalam iklan media sosial atau berencana untuk melakukannya tahun ini.
“Meski perusahaan-perusahaan mungkin bersedia membayar lebih banyak untuk iklan pada tahun 2019, namun bukan jaminan siapa pun akan mengacuhkannya.”
Iklan bukan tanpa tantangan. Kompetisi untuk mendapat tempat terbatas di Feed pengguna telah mendorong peningkatan harga iklan. Di Facebook, cost per thousand impression (CPM) telah melonjak sebesar 112 persen pada beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, pengguna yang dibanjiri dengan promosi penjualan akan semakin waspada terhap konten clickbait dan makin mahir dalam menyaring iklan. Entah mereka hanya membaca sepintas atau menggunakan alat pemblokiran iklan.
Dengan kata lain, meski perusahaan membayar lebih banyak untuk iklan pada tahun 2019, tidak menjamin orang-orang akan memperhatikannya. Yang sangat dibutuhkan saat ini adalah harga sesuai bagi iklan dengan mempertimbangkan aspek waktu, kreativitas, dan kecermatan menjangkau target pasar. Memasang iklan banner di News Feed sudah tidak lagi efektif.
Merek-merek cerdas seperti Spotify dan Netflix malah menganggap iklan sosial sebagai “kampanye” pemasaran lengkap–suatu inisiatif dengan konsep produksi bernilai tinggi yang didesain untuk menghasilkan engagement dan percakapan.
Mereka menggabungkan video, gambar bergerak, bahkan augmented reality, dan sepenuhnya memanfaatkan format multimedia untuk Stories. Mereka juga makin mengandalkan alat penargetan iklan, yang memungkinkan mereka melakukan tes A/B dengan ratusan varian, untuk menjangkau audiens dan mengoptimalkan pengeluaran iklan.
Jaringan sosial yang menjadi personal
Manifestasi lainnya dari perubahan arah para pengguna media sosial sebenarnya juga karena peningkatan jumlah platform pengiriman pesan. Messenger dan WhatsApp (keduanya dimiliki oleh Facebook) sekarang mempunyai 2,8 miliar pengguna. Ditambah lagi dengan platform populer dari Cina seperti WeChat dan QQ, dan sebagian besar orang di planet ini kini menggunakan aplikasi pengiriman pesan.
“Daripada membagikan konten ke publik lewat media sosial, para pengguna ini lebih memilih untuk terlibat percakapan dalam grup kecil atau privat.”
Bagi perusahaan, kondisi ini menjadi tantangan baru pada tahun 2019. Karena perubahan ke Feed ranah personal, apakah platform pengiriman pesan menjadi saluran efektif untuk menjangkau pelanggan? Atau apakah para pengguna membenci penerobosan ke “ruang pribadi masing-masing”?
“Meski terdapat banyak kemungkinan, ada satu area di mana terdapat banyak permintaan dalam penggunaan platform pengiriman pesan, yaitu dalam aspek layanan pelanggan.”
Sembilan dari sepuluh pelanggan ingin mengunakan platform pengiriman pesan untuk berkomunikasi dengan penjual. Namun, kurang dari setengah pelaku bisnis yang menjadi responden survei kami mengaku belum menggunakan aplikasi pesan.
Aplikasi pesan dengan menggunakan teknologi AI dalam bentuk bot menjadi opsi yang menarik untuk mengisi kesenjangan tersebut, tapi mereka bukan obat mujarab. Sekitar 70 persen interaksi dengan menggunakan bot di Facebook mengalami kegagalan dan masih membutuhkan intervensi manusia.
Melakukan ekspansi tanpa mengabaikan sentuhan manusia masih menjadi kunci, namun hal ini lebih mudah untuk dikatakan daripada dikerjakan. Perusahaan marketplace alat kecantikan Sephora menawarkan model yang menjelaskan cara melakukan hal ini dengan benar.
Kesimpulan
Yang paling jelas dari semuanya adalah kini sedang terjadi pergeseran paradigma sosial. Pada mulanya, media sosial adalah tempat untuk terhubung dengan cara yang bermakna, dengan orang-orang yang kamu kenal atau setidaknya ingin kenal.
Pertumbuhan dramatis dan popularitas global mengubah ruang intim tersebut menjadi hutan rimba yang mengerikan dalam dunia digital, dipenuhi dengan aktor-aktor yang merugikan, klaim yang mencurigakan, dan konten-konten jualan yang agresif.
Namun para pengguna jelas sudah merasa cukup dengan semua itu. Mereka menuntut lebih banyak nilai dan transparansi untuk menukar waktu dengan informasi. Mereka ingin diperlakukan seperti seorang individu, bukan data demografis. Pendulum berayun kembali ke akar sosial: nyata, personal, dan autentik.
Sumber: id.techinasia.com
– – –
Facebook : @SentraCyber
Cyber Trading and IT Networking Solution